Puisi-Puisi Ilham Nuryadi Akbar

- 22 Juli 2022, 23:25 WIB
Ilustrasi gelombang tinggi lautan.
Ilustrasi gelombang tinggi lautan. /demitrisvetsikas1969/Pixabay

Tafsir dan Nasihat Seorang Ayah

sebatang bambu tak dapat memutus tangkai di celah dedaunan,
tanpa besi bermata tajam, hanya angin yang tertikam,
hal itu sering ayah ajarkan di kebun jambu setiap hari minggu,
bahwa musim panen tak hanya perihal uang dan kenyang, juga tentang ilmu dan fragmentasi kehidupan.

sekali waktu di atas perahu
ayah menafsirkan sungai panjang yang beringsut jadi lengang
tersebab pola pikir manusia yang sungsang
membangun pabrik-pabrik tambang
membuat para nelayan menjala malang
ayah ingin menyampaikan
keserakahan itu, tak perlu dituhankan.

setiap pagi, acapkali ayah bercerita
tentang hidup ikan salmon
yang datang ke hulu untuk lahir
namun memilih mati di riak-riak hilir
sebenarnya ayah ingin menjelaskan
bahwa sebelum ajal, pulanglah ke tanah asal.

Bekasi, 15 Juli 2022

 
Seorang Ibu yang Mengaminkan Kematian

di atas selembar dipan, seorang ibu mendaras di hadapan batu nisan
ayat-ayat suci dilarungkan menuju Tuhan,
bulir-bulir tasbih berkelibang
menyatroni pemilik liang yang terbang petualang ke alam seberang
sedang di rumah, ia menghidu satu baju warna biru
di mana dahulu, ia beli dari uang menjual ikan dan kayu
dengan tersedu-sedu, lirih ia berkata rindu.

tatkala senja mulai pudar
ia menyumpahi malam dengan serapah yang kejam
menyalahi kehidupan, mengaminkan kematian
sebab jantung hatinya begitu sanggup, berlari-lari riang di nirwana
sementara ia, dibiarkan sebatang kara
tak ada lagi yang ia inginkan,
selain pulang bertemu Tuhan
mencium tubuh yang pernah ia lahirkan.

Bekasi, 15 Juli 2022


Menghidu Aroma Tubuh Ibu

dengan penuh kesedihan, tangan dan kaki yang terkulai ini mencoba melampaui segala nalar
entah itu merangkak, beringsut sedepa demi sedepa, sehasta, bahkan sekilan
terus kupaksa sampai mampus ke ujung usus sekaligus
demi memungut keping-keping tenaga yang berhamburan
agar nantinya dapat kutumpuk sebagai sandaran, juga dijadikan selembar dipan
untuk sekadar menghangatkan tubuhku pada ratusan malam yang akan datang bertandang
atau sebagai sajadah tatkala diriku mengadu tersedu-sedu kepada Tuhan

jika saja seorang ibu terlebih dulu menjelaskan apa itu jarak
kepulangan, kabar, juga kesendirian
maka kuharamkan kaki ini melangkah pergi
nun dari tanah kelahiran
sehingga aku tak perlu merasa lapar untuk memeluk ibu
atau merasa rindu, menghidu aroma tubuh ibu.

Bekasi, 15 Juli 2022

 

Kepada Ibu
: tinggal-lah di bumi lebih lama

Oleh: Ilham Nuryadi Akbar
bu, saya sedang menulis masa depan,
demi mencicil cita-cita yang tak tahu di mana ujungnya.
meski jarak kita tidak sehasta apalagi bertatap muka,
tapi saya pantang bermuram durja.
kidung murung acapkali saya lantunkan
di atas sajadah, kasur, bahkan piring-piring yang menghidangkan wewangian hambar.
namun di sepertiga malam semua itu pecah berhamburan,
berkat kasih sayang yang terbang dari tangan lembut penuh keberkahan.

bu, kota saya ini tampak kejam dan begitu asing, di mana lidah mampu mencetak uang,
kebathilan melahirkan kepercayaan, bahkan baik dapat berbiak kebencian.

jika nanti saya pulang
tolong suguhi lagi ilmu daruri
tentang agama yang menyelamatkan saya dari panasnya neraka
juga kebaikan yang mengundang rahmat mendapat surga.

bu, saya masih mengingat pesan yang dahulu tumpah dari bibirmu.
"Bahwa tempat segala asal muasal kamu merancang masa depan adalah rumah."

tentang apa yang kamu pikirkan
apa yang membuat kamu marah
apa yang kamu suka
apa yang kamu cari
ke mana kamu akan berkelana
dengan siapa nantinya kamu berjumpa
pengalaman apa yang didapatkan, dan apa tujuanmu

namun tatkala letih, kembalilah pada tempat kamu memulai semuanya.

bu, semoga waktu tidak mematahkan ruh dalam tubuhmu
sebab saya tidak ingin ada penyesalan
membiarkan tangan memberi saya makan
menggenggam rindu saat kembali kepada Tuhan.

Bekasi, 15 Juli 2022

 

Lelaki yang Menyumpahi Lautan

ombak-ombak konkaf kembali menampar-nampar batu kecil ke tubuh pesisir basah
tempat lelaki setengah abad termangu dengan keteguhan laiknya batu
jelang pagi ia mempersiapkan apa-apa yang dianggap perlu
demi harapan, semua itu dapat menjadikan hatinya tidak kenapa-kenapa
termasuk melarungkan bunga-bunga tujuh rupa
bersama doa-doa paling mustajab sebanyak buih di lautan.

“Seandainya darah dagingku masih hidup, dapatkah bunga dan doa itu menjelma sebuah kabar.”

meski ia seorang nelayan, sekali pun ia tak pernah menjala hasil
namun ia percaya bahwa jantung hatinya masih bernyawa
sekali pun di tempat yang entah
tatkala hari-hari mencukupi hitungan setahun
burung-burung camar berkelibang dari sangkar
sembari membawa serpihan baju yang paling ia ingat
di mana dahulu, ia beli dari uang menjual ikan dan kerang
betapa kabar yang sampai dari seekor binatang
membuat keteguhannya menjadi sungsang.

Bekasi, 15 Juli 2022


Ilham Nuryadi Akbar lahir pada 11 Februari 1995 di Banda Aceh. Buku pertama diterbitkan oleh Alinea Medika Pustaka berjudul Kemarau Di Matamu Hujan Di Mataku, terpilih sebagai Juara 2 pada Lomba Puisi Nasional di Festival Penulis. Puisi dan cerpen telah banyak terangkum pada beberapa Lokal dan Nasional seperti, kumparan.co, Koran Radar Banyuwangi, ideide.id, barisan.co, negeri kertas, dll.
Contact Ilham Nuryadi Akbar:
Telfon/Wa : 08111130295
Email : [email protected]
Instagram : ilhamfellow

 Baca Juga: Kirim Tulisan

Editor: Saiful Bahri


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Puisi Akrostik Nama Cinta

5 Mei 2024, 20:30 WIB

Puisi Akrostik Nama Mimpi

5 Mei 2024, 20:00 WIB

Terpopuler

Kabar Daerah