Menghidu Aroma Tubuh Ibu
dengan penuh kesedihan, tangan dan kaki yang terkulai ini mencoba melampaui segala nalar
entah itu merangkak, beringsut sedepa demi sedepa, sehasta, bahkan sekilan
terus kupaksa sampai mampus ke ujung usus sekaligus
demi memungut keping-keping tenaga yang berhamburan
agar nantinya dapat kutumpuk sebagai sandaran, juga dijadikan selembar dipan
untuk sekadar menghangatkan tubuhku pada ratusan malam yang akan datang bertandang
atau sebagai sajadah tatkala diriku mengadu tersedu-sedu kepada Tuhan
jika saja seorang ibu terlebih dulu menjelaskan apa itu jarak
kepulangan, kabar, juga kesendirian
maka kuharamkan kaki ini melangkah pergi
nun dari tanah kelahiran
sehingga aku tak perlu merasa lapar untuk memeluk ibu
atau merasa rindu, menghidu aroma tubuh ibu.
Bekasi, 15 Juli 2022
Kepada Ibu
: tinggal-lah di bumi lebih lama
Oleh: Ilham Nuryadi Akbar
bu, saya sedang menulis masa depan,
demi mencicil cita-cita yang tak tahu di mana ujungnya.
meski jarak kita tidak sehasta apalagi bertatap muka,
tapi saya pantang bermuram durja.
kidung murung acapkali saya lantunkan
di atas sajadah, kasur, bahkan piring-piring yang menghidangkan wewangian hambar.
namun di sepertiga malam semua itu pecah berhamburan,
berkat kasih sayang yang terbang dari tangan lembut penuh keberkahan.
bu, kota saya ini tampak kejam dan begitu asing, di mana lidah mampu mencetak uang,
kebathilan melahirkan kepercayaan, bahkan baik dapat berbiak kebencian.
jika nanti saya pulang
tolong suguhi lagi ilmu daruri
tentang agama yang menyelamatkan saya dari panasnya neraka
juga kebaikan yang mengundang rahmat mendapat surga.
bu, saya masih mengingat pesan yang dahulu tumpah dari bibirmu.
"Bahwa tempat segala asal muasal kamu merancang masa depan adalah rumah."