"Alasan penolakan warga Kampung Tapakerbuy terhadap rencana laih fungsi lahan itu karena hanya pesisir itulah yang tersisa. Sementara lahan pesisir lainnya sudah sejak dulu habis menjadi tambak garam. Terhitung sejak masa kerajaan, kolonialisme, dan pemerintah Orde lama dan Baru," ujarnya.
Menurutnya, pengalihfungsian menjadi tambak garam justru akan merenggut mata pencarian laut yang biasanya digunakan untuk menafkahi keluarga.
"Jika pesisir yang tersisa habis dialihfungsikan maka Desa Gersik Putih (termasuk Kampung Tapakerbuy) sebagai sebuah desa yang dekat dengan laut tak akan lagi memiliki pesisir. Bisa dibayangkan, masyarakat pesisir yang sejatinya menyatu dengan alam harus tercerabut dari ekosistem dan ruang hidupnya," tegasnya.
Baca Juga: Gorong-Gorong di Gayam Sumenep Ambruk, Muatan Berat Diminta Distop
Salah satu dewan pengasuh PP Nasy'atul Muta'allimin tersebut mengungkapkan bukan hanya perekonomian yang dirugikan melainkan juga social-budaya.
Biasanya warga pribumi dan non pribumi memanfaatkan lahan pesisir yang tersisa untuk menangkap ikan, kerang, rajungan (kepiting), tiram dsb untuk dimakan sendiri atau dijual. Jika dijual bisa menghasilkan Rp 70 ribu untuk biaya hidup.
Dia pun menyesalkan kepada pemerintah daerah yang tidak melakukan apapun dan memberikan jalan keluar terhadap polemik yang terjadi desa Gersik Putih.
"Yang saya sesalkan sebenarnya sikap Pemerintah Daerah yang tidak melakukan apapun untuk meredam konflik dan mencari jalan keluar dengan mempertimbangkan maslahat dan madharat. Pada hal DPRD sudah mengeluarkan rekomendasi agar rencana alih fungsi lahan jangan dilanjutkan," imbuhnya.
Baca Juga: Lagi, Bekas Galian C Ilegal di Pulau Sapudi Sumenep Telan Korban