Kulihat ada dua panggilan tak terjawab. Satu dari Siska, satunya lagi dari Ratih. Aku ketiduran.
Ratih mengirimkan contoh surat undangan yang telah dicetak. Potoku dan juga Ratih yang menawan terpampang di sana.
[Gimana, Mas?] pesannya.
[Wah, sip ini,] balasku.
Sementara di sisi lain, Siska tidak meninggalkan pesan apa-apa. Kuberanikan diri untuk meneruskan poto undangan kami kepada Siska.
[Mohon doa dan restunya,] imbuhku dalam pesan.
Centang biru. Siska membalas dengan senyum dan doa.
[Semoga sakinah, mawadah, dan warohmah, Kang.]
[Aamiin,] balasku dengan emotikon tangan menengadah.
Entah bagaimana perasaan yang mengiringi Siska ketika mengirim doa itu. Yang kutahu sejak saat itu, kami tidak pernah berkirim pesan lagi.[]