Berpenduduk Mayoritas Muslim, Tajikistan Melarang Penggunaan Jilbab di Negaranya

- 29 Juni 2024, 11:15 WIB
Tajikistan menghadapi kontroversi setelah melarang hijab dan regulasi nama, menyoroti kebijakan sekuler yang menentang simbol-simbol keagamaan.
Tajikistan menghadapi kontroversi setelah melarang hijab dan regulasi nama, menyoroti kebijakan sekuler yang menentang simbol-simbol keagamaan. /X.com @yopilates/

SUMENEP NEWS - Pemerintah Tajikistan mengesahkan undang-undang yang melarang jilbab baru-baru ini. Pemerintah mengatakan bahwa langkah itu sebagai upaya untuk melindungi nilai-nilai budaya nasional dan mencegah takhayul dan ekstremisme di negaranya.

Undang-undang tersebut disetujui oleh majelis tinggi parlemen Majlisi Milli pada Kamis (20/6/2024). Undang-undang itu melarang penggunaan “pakaian asing” termasuk jilbab, atau penutup kepala yang dikenakan oleh wanita Muslim. Sebaliknya, warga negara Tajikistan didorong untuk mengenakan pakaian nasional Tajikistan.

Mereka yang melanggar aturan tersebut akan dikenakan denda mulai dari 7.920 somoni Tajikistan (hampir Rp12,3 juta) untuk warga negara biasa, 54.000 somoni (Rp82,6 juta) untuk pejabat pemerintah, dan 57.600 somoni (sekitar Rp88 juta) jika mereka adalah tokoh agama.

Baca Juga: 4 Tips Ampuh Agar Wajah Tak Nampak Kusam Memakai Hijab Putih Saat Idul Fitri

Undang-undang terbaru tersebut dikatakan dipicu oleh serangan mematikan di Balai Kota Crocus di Moskow pada bulan April lalu. Empat penyerang yang ditangkap oleh penegak hukum Rusia yang diklaim anggota ISIS cabang Khorasan itu, memiliki paspor Tajikistan.

Presiden Rahmon, yang mengatakan bahwa ia bermaksud menjadikan Tajikistan “demokratis, berdaulat, berdasarkan hukum, dan sekuler.” Ia mengutip kalimat pembukaan Konstitusi 2016 dengan menasihati rakyat untuk “Mencintai Tuhan dengan (hati) mereka”.

Undang-undang serupa yang disahkan awal bulan ini memengaruhi beberapa praktik keagamaan, seperti tradisi berusia berabad-abad yang dikenal di Tajikistan sebagai “iydgardak.” Tradisi ini adalah ketika anak-anak mendatangi rumah-rumah untuk mengumpulkan uang saku pada hari raya Idulfitri.

Keputusan tersebut dianggap mengejutkan, karena negara Asia Tengah dengan penduduk sekitar 10 juta jiwa itu, 96 persennya beragama Islam. Namun, hal itu merupakan cerminan garis politik yang telah ditempuh pemerintah sejak 1997.

Di Tajikistan, pemerintahan presiden seumur hidup Emomali Rahmon telah lama mengarahkan pandangannya pada apa yang mereka gambarkan sebagai ekstremisme.

Halaman:

Editor: Sauqi Romdani


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah