Belum Saatnya Pulang - Cerpen Ar Rofik Hidayat

- 28 Maret 2023, 07:30 WIB
Kumpulan cerpen Ar Rofik Hidayat berjudul Belum Saatnya Pulang/ilustrasi
Kumpulan cerpen Ar Rofik Hidayat berjudul Belum Saatnya Pulang/ilustrasi /Ilustrasi dari Pixabay/

SUMENEP NEWS - Kumpulan Cerpen Ar Rofik Hidayat berjudul Belum Saatnya Pulang yang akan menemani di waktu yang senggang.

Belum Saatnya Pulang

Perut kosong semalam suntuk juga diterjang gerimis rintik air hujan yang tak kunjung reda sejak sore hari. Suara bising lalu-lalang kendaraan pagi itu sudah menghiasi jalan-jalan raya di sepanjang kota Purwokerto. Dapur ibu-ibu rumah tangga mulai mengeluarkan harum rempah dan sedikit sengak menyiksa hidung pun mata. Badan beralaskan kasur belum pindah dari kemarin  dalam hunian perantau yang sederhana. Mata sedikit terbuka tiba-tiba disilaukan oleh baskara pagi yang hangat dan bersamaan keroncongan bunyi perut yang mulai menggerutu akibat lapar. Tidak ada jendela di kamar hunian itu hanya terdapat pintu menghadap timur yang terbuat dari kayu yang tak terkunci. 

Beranjaknya pun terdorong gerutu perut yang berfirasat warung nasi kiri jalan sudah melayani pembeli. Rantau jauh di sebrang dengan alasan pendidikan yang lebih bermutu, dan jauh dari orang tua beserta hidangan masakan ibu yang tak pernah absen dan keluh kesah kesadaran benih tak selamanya berbuah pun menambah pesimisme di setiap pagi. Sorot lampu penerang jalan memang selalu redup di pagi hari di gantikan baskara yang terbit seantero negeri, tetapi kadang mendung juga menutupi sinarnya. Mendung itu menanggapi akhir akhir ini di penghujung tahun dan berharap baskara datang menyingkap awan mendung pesimisme di awal tahun mendatang.

Libur panjang telah tiba, raut muka senang kembali ke kampung halaman nampak menghiasi seluruh muda-mudi rantau. Hidangan sayur masakan ibu menjadi hilling terbaik muda-mudi melepas rindu sanak saudara dirumah pada penghujung tahun. Berkunjung sanak saudara melepas rindu, berbicara peristiwa rantau dan transaksi gelap uang pemberian nenek itulah kiranya utopia yang tergambar. 

Perut kosong pagi hari menutup cahaya terang baskara yang akan bersinar cerah. Gelap jalan menuju warung nasi kiri jalan bersama tangis rindu tak kunjung redam. Ramah senyum ibu penjual nasi ketika sampai menanyakan “nggak pulang le?” membuat merintih tangis tanpa air mata. Sosok ibu si penjual nasi itu nampak seperti ibu dirumah yang cerewet dengan tujuannya yang sangat perhatian. Sederhana keinginan ini, hanya ingin melihat ibu menyiapkan hidangan pagi saja dan rindu akan kata sederhana yang terucap “le makan!”.

Sisi lain bagian rindu ingin bertemu dan bagian yang lain dengan pikiran idealisnya “ah kan teknologi sudah canggih ada vidio call”. Namun rasa itu nyata, bahwa jiwa itu kosong meskipun teknologi bisa memanipulasinya. Memang mampu saja berbekal 2 juta pun sudah bisa mengetuk pintu kayu rumah no 45 dengan sambutan hangat dari senyum ibu di rumah. Entah apa yang menghalang diri ini pulang padahal rindu sudah menjamur keseluruh badan. Padahal seringai ibu teman dapat di rasa ketika aku ketuk pintu rumah Dondi seraya berucap “Dondi ada budhe?”. Memang selama liburan rumah Dondi menjadi rumah kedua setelah rumah orang tuaku, mungkin aku saja yang merasa.  Sebenarnya sepanjang hari tak ada yang dilakukan di rantau, kecuali saat jam masuk kuliah. Hari-hari hanya diisi oleh kantuk mata dan lamunan hidup bahagia yang kadang aku coret-coret di buku tulis, sampai tibalah maghrib bersama keindahannya. 

Baca Juga: Hilang, dan Akhirnya Hilang Juga Kenangan Itu - Cerpen Firman Fadilah 

Capung-capung berkeliaran di atas sungai besar di samping kiri agak jauh dari kos, untaian ayat suci dan merah langit menjelang magrib. Harum sabun masih tercium di sepanjang badan yang mengenakan kaos hitam polos dan sarung yang menjadi sandangan semenjak masih SMA di asrama dulu. Selepas maghrib, masih belum beranjak dari sajadah biru tua tiba-tiba handphone berdering keras di atas lemari. Babe, begitulah Aku namai kontak Ayah yang selalu aku ganti-ganti sebenarnya. “Le gimana kabarnya?” ayah memang selalu mengawali percakapan walaupun ketika Aku yang menelponnya terlebih dahulu. Sedikit tentang ayah, beliau dalam pandanganku orang yang pintar dan sedikit kaku, mungkin salah satu penghalang untuk pulang juga. Bukan karena tidak sayang atau apa, hanya dengan opininya dan kekakuannya sedikit membuat yakin “owh betul juga sih”.

Di akhir bincang dengan Ayah, ku sempatkan menyeletuk tentang liburan dan pulang ke rumah. Masih jawaban yang sama dan template “nanti aja le” kiranya itu yang ingin disampaikan. Aku sebenarnya sudah bosan dengan jawaban itu, lalu dengan sedikit ragu aku bantah. “Apa susahnya sih Pak?, aku udah lama belum pulang. Dan keinginan untuk pulang juga kadang mengganggu loh toh kalau aku pulang juga bisa bantu-bantu pekerjaan di rumah.”. Memang rindu kadang menjadi kerikil di jalan yang membuatku berpikiran seandainya dan seandainya. Rindu pulangku itu kalau secara hiperbola digambarkan sudah di ujung tanduk, ibarat buang air sudah di ujung anus. Dari anak-anak rumahan yang berpikir seandainya aku di perantauan tidak ada yang bakal mengatur-atur lagi, memang itu aku rasakan dulu awal-awal. Setelah satu windu dan julukan “wong ilang” Aku dapatkan dari obrolan warung kopi, pikirku “seandainya aku di perantauan tidak ada yang bakal mengatur-atur lagi” sudah berbalik. Senyumku mungkin mereka tatkala terdengar cerewetan ibu yang perhatian.

“Le ibarat perahu kamu itu sudah di tengah jalan, kalau pun pulang sudah jauh dan nanggung, bukan soal bapak ini melarang atau tidak boleh. Tapi jadikan pertemuan setetah rindu itu bak dapur besar acara pengantin di desa yang sungguh menyengatkan mata yang sanggup membuat air mata dapat menetes dengan sendirinya.”, ujar bapak yang membuatku terisak menangis. 

“Bapakmu ini juga tidak menuntut kamu jadi apa-apa, bapak cuma ingin kamu itu buka wadah pikiranmu lebar-lebar dan seraplah ilmu dan pengalaman. Masalah biaya di sana biar bapak aja yang mencari, dan walaupun kamu udah sedikit bisa cari simpanlah”, tutur Ayah selanjutnya.

Semenjak saat itu, Aku berbaik sangka dengan kakunya pikiran Ayah, walaupun belum begitu paham dengan yang diucapkan olehnya, tetapi memang romantis pada hubungan orang tua dan anak jarang ditemui oleh mata. Entah seorang anak yang terkekang dan berontak kepada orang tuanya atau keluh kesahnya orang tua mendidik anaknya. Dan aku harap itu semua tak terjadi padaku kelak saatnya pulang.

Jarak memang semakin tidak ada, batas semakin menghilang, rasa semakin lama bisa di manipulasi. Tentang rindu itu sungguh nikmat yang harus selalu hinggap ditiap diri manusia. Suara noise dan senyum di layar handphone bisa saja memanipulasi rindu.  Bahwa kedepan dunia dan saat ini juga sudah tidak mengenal apa itu batas. Tapi keotentikan rindu tidak akan bisa terhapus. Sederhananya rindu adalah hidangan sayur masakan ibu.


Biodata Penulis:

Nama : Ar Rofik Hidayat

Alamat : Ds. Sungai Randak Satu, Kec. Terentang, Kuburaya, Kal-Bar

Medsos : IG:@iamarrofikhidayat_

Nomer Rek : 661101012637537 (BRI | Akhmad Subekti)

TTL : Bekasi, 13 Mei 2003

Pekerjaan : Mahasiswa (Prodi: Studi Agama-Agama)

Baca Juga: Kirim Tulisan

Editor: Sauqi Romdani


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Puisi Akrostik Nama Cinta

5 Mei 2024, 20:30 WIB

Puisi Akrostik Nama Mimpi

5 Mei 2024, 20:00 WIB

Terpopuler

Kabar Daerah