Hilang, dan Akhirnya Hilang Juga Kenangan Itu - Cerpen Firman Fadilah 

- 4 Desember 2022, 08:27 WIB
Kumpulan cerpen berjudul Hilang, dan Akhirnya Hilang Juga Kenangan Itu karya Firman Fadilah akan memberikan inspirasi dan kesejukan pembaca/ilustrasi
Kumpulan cerpen berjudul Hilang, dan Akhirnya Hilang Juga Kenangan Itu karya Firman Fadilah akan memberikan inspirasi dan kesejukan pembaca/ilustrasi /Pixabay

Kumpulan cerpen berjudul Hilang, dan Akhirnya Hilang Juga Kenangan Itu karya Firman Fadilah.

 

Aku tak tahu kenpa setiap percakapan kita selalu menjurus pada permasalahan cinta, meskipun cinta itu kini telah sirna. 

***

Aku tengah duduk di halte bersama orang asing dengan tujuan sama denganku, menunggu bis. Aku akan menuju ke kota untuk mencari kehidupan baru setelah gagal di tempat yang dulu. Rasanya sungguh tak tentu jika ditinggal pergi kekasih dan itu yang kini kualami. Walaupun perpisahan itu tak pernah kami kehendaki, tetapi takdir selalu punya caranya sendiri untuk memisahkan cinta. Belum jodoh, katanya. 

"Jangan pernah lagi bawa lelaki pengangguran ini ke hadapan Abah!" Amarah yang muntab dari ayah Siska masih terngiang dan menyayat hatiku bertubi-tubi meski kejadian itu telah dua tahun berlalu. 

"Neng mohon, Bah!" Siska memohon sambil bersimpuh. Air mata menganak sungai di pipinya yang merah. Aku menunduk.

"Sudahlah! Mau jadi apa kamu nikah sama dia!"

Baca Juga: Contoh Puisi Bahasa Jawa Tentang Ibu dan Ayah, Simak Geguritan ini untuk Perayaan Hari Ibu

Ayah Siska membukakan pintu untuk kulewati seolah mengisyaratkan jika pintu itu tidak akan pernah terbuka lagi untukku. Aku berlalu dengan perasaan malu dan marah kepada diriku sendiri. Kenapa kamu jadi lelaki lemah seperti ini? Malang kian nasibmu. 

Hari sebelumnya, aku sempat membeli dua cincin titanium. Satu kuselipkan di jari manisnya, satu lagi di jari manisku. 

"Ini tanda komitmen kita, Neng. Tolong jaga, ya?" Ia mengangguk.

Aku tahu, ia menyangsikan itu sebab kucuri kabar burung dari orang-orang dan teman dekatnya jika Siska telah dijodohkan. Itu tandanya, sudah tidak ada lagi harapan di antara kami. Kabar dari Siska menjadi barang mahal. Kami jarang berbalas pesan. Barangkali nomorku telah berada dalam daftar hitam di ponselnya. 

Aku masih mengingat betul wajah ayunya. Dulu, sering kutulis sajak-sajak untuknya, tentang rambutnya yang seperti akar pohonan yang mencengkeram hatiku, juga tentang rona bibirnya yang seperti senja yang mampu meracuniku agar tidak melupakannya. Ah, kenangan. Kini, kuyakin Siska telah hidup bahagia bersama lelaki pilihan Ayahnya. Meskipun begitu, Siskalah mantan terindahku sebab dia adalah cinta pertamaku. 

Orang-orang yang menunggu di halte ini makin banyak berjejal. Tak jauh di seberang jalan, ada pasar tradisional. Kadang, ibu-ibu singgah sejenak untuk membenahi barang belanjaanya yang menggunung di halte ini sambil menunggu angkot.

Suasana masih pagi betul, tetapi di jalan ini, udara selalu dihangatkan oleh deru dan asap knalpot, serta ocehan orang-orang. Jalanan tidak pernah sepi. Aku memutuskan untuk beralih duduk sesaat setelah ibu-ibu dengan anaknya ikut nimbrung di halte ini. Aku kurang suka keramaian. Pada saat itu, aku tak sengaja menatap sesosok perempuan dengan anak kecil di gendongannya. Lamat-lamat kuperhatikan wajah itu. Tak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa perempuan itu ternyata Siska. 

Baca Juga: Contoh Cerpen Bahasa Madura Singkat dan Pendek Versi PDF, Baca Yuk!

Seperti dua kabel yang lama putus, kemudian tersambung lagi. Siska segera menyadari keberadaanku. Kami bersitatap dan termangu pada awalnya. Sejurus kemudian, kami saling menyapa.

"Siska!"

"Kang Dudung!"

"Lama tak jumpa. Apa kabar?"

"Baik, Kang. Alhamdulillah."

Kutatap bocah kecil yang kira-kira berumur satu tahun itu. Cantik. 

"Siapa namanya?"

"Aisha, Kang."

"Wah, Aisha cantik sekali kayak mamanya."

Siska tersipu. Dia masih cantik seperti dulu. Andai saja dia jadi milikku. Ah, takdir memang kadang sangat keterlaluan. 

Kami mengobrol basa-basi seperti yang pernah kami lakukan dulu. Hanya saja, kini obrolan itu sangat terbatas umpama ada dinding yang menghalangi. Waktu juga sangat singkat. Belum sempat rindu terlerai, tau-tau bis yang tadinya kutunggu telah menungguku. 

"Bandar Lampung, Mas?" ucap kenek bis. Aku terkesiap.

"I-ya, iya." Aku segera berkemas. 

Kuraih uang sekenanya di saku celanaku. 

"Aisha cantik. Ini buat jajan Aisha. Jangan nakal, ya," ucapku. Kucubit pipi tembemnya. Siska mengusap rambut Aisha yang jarang. Benda berkilau di jari manis Siska seketika menarik perhatianku. Itu adalah cincin yang pernah kuberikan untuknya, batinku. Siska masih mengenakannya. Ada huruf 'D dan S' di cincin itu. Iya, itu cincin lambang komitmen cinta kami berdua. 

"Eh, Kang. Neng malah ngerepotin."

"Nggak lah, Neng. Oh, ya. Boleh minta nomor teleponnya?"

Siska segera merapalkannya. Kami berpisah di halte itu. Entah kapan lagi kami akan dipertemukan. Kebetulan-kebetulan indah biasanya jarang terulang. 

Baca Juga: CONTOH Cerpen Bahasa Bali Lengkap, Cocok Memenuhi Tugas Sekolah

***

Telah kuputuskan untuk menabung. Aku tidak ingin kejadian seperti itu menimpaku lagi. Meski karakter setiap orang tua berbeda-beda, aku tak ingin mengecewakan mereka. Akan kubuktikan bahwa aku mampu membahagiakan anak mereka. Sebab itulah, kini aku bekerja di kota. 

Setelah sampai di indekos, aku kembali menghubungi Siska untuk berbasa-basi. 

"Gimana kabar, Abah, Neng?"

"Abah sudah nggak ada, Kang."

Dua tahun berlalu, orang-orang yang pernah singgah pergi satu per satu. 

"Suamimu? Sehat, kan?"

Lama Siska tak membalas.

"Maaf, Kang. Tadi Aisha rewel. Neng udah nggak sama suami, Kang."

Kutatap layar ponsel dengan berbagai pertanyaan yang melayang-layang. Udah nggak sama suami. Itu berarti....

"Kang Dudung kapan nikah?" tanyanya setengah menggoda. 

"Ngobrol sama siapa?" Selengking suara tiba-tiba mengagetkanku dari belakang.

"Oh, Ratih. Ngagetin aja! Ini lagi ngobrol sama temen."

Baca Juga: Contoh Cerpen tentang Hari Guru Singkat Kurang 1500 Kata Berjudul 'Repot Berbuah Pahala

Kumatikan telepon. 

"Ini tehnya, Mas."

"Makasih."

"Oh, ya, Mas. Aku pulang dulu. Mau ngurus baju kita."

"Mau dianter?"

"Nggak usahlah, Mas. Nanti kamu kecapekan."

"Oh, ya, sudah. Hati-hati."

Kutatap lagi layar ponsel setelah Ratih melangkah jauh ke luar. Ada pesan dari Siska.

[Kok dimatiin, Kang?]

[Nggak sengaja kepencet, Neng.]

[Jadi, Kang Dudung sudah punya pacar?] tanya Siska lagi.

Aku terdiam antara bingung dan ingin membalas. Sejurus kemudian, Siska mengirim poto tangannya dengan cincin titanium yang melingkar di jari manisnya. 

[Masih ingat cincin ini?] tanyanya seolah ia ingin menunjukkan komitmen cintanya yang telah berpayah-payah dibangun.

[Kamu masih menyimpannya?]

[Oh, tentu! Punya Kang Dudung masih ada?]

Baca Juga: Kirim Puisi dan Cerpen Dapat Uang, Gimana Caranya?

Aku pun bingung. Cincin itu telah lama kubuang bersama segala kenangan tentangnya setelah kudengar kabar pernikahannya dan kuputuskan untuk merantau ke kota. 

[Sudah nggak ada, Neng.]

Siska membalas dengan emotikon sedih. 

[Masihkah ada rasa buat Neng, Kang?]

Hatiku dag-dig-dug seketika. 

[Neng Siska tak mungkin kulupakan. Tapi, ...]

[Tapi apa?]

[Kita tak berjodoh.]

[Neng mau membangun cinta kayak dulu, Kang. Apa masih ada rasa cinta di hati Kang Dudung buat Neng?]

Aku tak membalasnya. Kurebahkan ponsel di kasur. Kutatap langit-langit. Mengapa waktu tidak mengizinkan luka untuk sirna? Aku sangat mencintai Siska. Hingga kini, kepalaku kerap dibayangi oleh paras cantiknya. Namun, ketika aku mengingat Siska, ketika itu juga, aku teringat perlakuan Ayahnya yang mengusirku seperti kucing liar. Duniaku runtuh. Hatiku masih terasa sakit walau aku telah lama memaafkannya. 

Siska jelas-jelas telah kembali lagi ke hadapanku, tetapi pelan-pelan cinta itu seperti telah pudar. Siska kembali lagi pada saat aku telah menemukan penggantinya, Ratih. Kami memutuskan untuk menikah bulan ini. 

Baca Juga: Prakiraan Cuaca BMKG Pangandaran dan Sekitarnya 4 Desember 2022: Berawan Hingga Hujan Ringan

Mulanya, niatku menghubungi Siska hanya untuk mengabarkan bahwa sebentar lagi aku akan menanggalkan status lajangku. Namun, ternyata Siska hendak menawarkan cintanya lagi dan kembali membangun komitmen seperti dulu. Itu tidak mungkin. Ratih telah menemaniku dari duka hingga suka. Ratih telah membuatku bangkit dan mengenalkanku lagi dengan cinta. Aku tak ingin berlarut-larut mengenang kenangan yang menyedihkan. 

Kulihat ada dua panggilan tak terjawab. Satu dari Siska, satunya lagi dari Ratih. Aku ketiduran. 

Ratih mengirimkan contoh surat undangan yang telah dicetak. Potoku dan juga Ratih yang menawan terpampang di sana. 

[Gimana, Mas?] pesannya.

[Wah, sip ini,] balasku.

Sementara di sisi lain, Siska tidak meninggalkan pesan apa-apa. Kuberanikan diri untuk meneruskan poto undangan kami kepada Siska. 

[Mohon doa dan restunya,] imbuhku dalam pesan. 

Centang biru. Siska membalas dengan senyum dan doa.

[Semoga sakinah, mawadah, dan warohmah, Kang.]

[Aamiin,] balasku dengan emotikon tangan menengadah.

Entah bagaimana perasaan yang mengiringi Siska ketika mengirim doa itu. Yang kutahu sejak saat itu, kami tidak pernah berkirim pesan lagi.[]

Tanggamus, 16 November 2021

 

Penulis bernama Firman Fadilah, tinggal di Lampung. Karya-karyanya berupa cerpen dan puisi yang termuat di berbagi media cetak dan daring seperti Radar Kediri, Radar Madiun, Radar Malang, Minggu Pagi, Bhirawa, Lampung News, langgampustaka.com, sukusastra.com, Majalah digital elipsis, Tanjung Pinang Pos, Suara Merdeka, Suara Banyumas, Harian BFox, Magrib.id, Kawaca.com, dan berbagai buku antologi. Buku cerpen pertamanya First Kiss (Guepedia, 2021).



Editor: Sauqi Romdani


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Puisi Akrostik Nama Cinta

5 Mei 2024, 20:30 WIB

Puisi Akrostik Nama Mimpi

5 Mei 2024, 20:00 WIB

Puisi Akrostik Nama Sahabat

5 Mei 2024, 19:30 WIB

Terpopuler

Kabar Daerah

x