Puisi-Puisi M. Arif Al Husein

- 13 September 2022, 12:27 WIB
Ilustrasi sungai.
Ilustrasi sungai. /Pexels

Tampung Mandau , Matinya Anak Sungai Jantan

 

aku terombang benak tentang tampung mandau si anak sungai yang mati di belakang rumah

masih terlihat samar bangkaibangkai perahu konting milik abah, pokokpokok rumbia, limau wuluh dan gemerisik-bisik daundaun nipah di sekitar bantaran

kumpulan aroma dapur mak yang hanya selemparan batu statak. tanpa uap arus yang deras

“sungainya hanya menampung hujan”. suara, mak pelan sembari membawakan mengomel kayu bakar

kehidupan yang sayup menyalai pagi di rumah gubuk beranyam bambu

 

getir getaran tangkai yang dihinggap serindit dan murai, kepaknya menyeruak di tepian landai tanah bergambut lumut dengan akarakar mangrove meninggikan tajam.

masa kecil memang masih membayangi jalaran akar rindu yang mengumbi bak keris anyaman daun pinang yang dibuat abah, sebelum mati diseret, dicampakkan kompeni ke hulu anak sungai

 

sementara, mak tabah membilas bajunya di tepian sungai tampung mandau yang berlumuran darah

riwayat hidup bersilang rupa, harga diri tak hanyut ditelan anak sungai jantan

 

aku mendengar gemericik pelan di sebalik kayukayu ara sekitaran tampung mandau

mengalir di sepanjang saraf otak dari retina berbelok ke ingatan bersama ruap amis darah yang membawa wangi melati dan pandan kesukaan, mak;

“abahmu dahulu pahlawan kebanggakan negeri ini” 

sambil mengunyah sirih pinang, luruh mata maksendiri bulan

mengalir kecil di tampung mandau; anak sungai jantan yang mati.

 

(Tualang Timur, Juni 2022)

 

 

Asmaraloka Bumbu Dapur, Mak 

 

sejauh apa pun susur sungai yang kulalui, 

kulabuhkan juga derap langkah di tanah Melayu Siak ini 

sejauh apa pun melanglang, 

akan bermuara jua derap langkah ke Kampung Tualang 

 

di sepanjang ranah Melayu yang terbentang hijau hutan, 

kicau burung-burung mengepak terbang

ikan juaro dan udang galah di sepanjang belantaran sungai jantan 

tak ada yang lebih agam di kenang selain ingatan ke kampung halaman

akan peluh Abah menyiang ladang

dan bumbu dapur Mak yang mampu menjadi asmaraloka berumur panjang

 

apalagi bila kuingat ikan salai Pinang Sebatang 

yang berkuah lemak santan, oi mak jang, bikin kepayang 

 

ditambah pula kulit kerupuk dan ikan teri yang menjadi lauk, 

mampu menjuluk anggara di lekuk lambung deruk

mengijabkan puspawarna di atas gemuruh periuk.

 

 oh, Mak, aroma masakan buatanmu membuat candu 

untuk tandang ke halaman rumahmu 

mengiang kenangan masa kita dulu; menciptakan riuh pada cobek dan munthu 

menakar cabai, bawang dan garam menjadi kaldu 

gurih menyatu di pangkal panci dan wajanmu 

 

Mak, bolehkah aku menabung rindu? 

 

(Tualang Timur)

 

Cencalok

 

sayup terngiang hembus ingatan

kala aku mengenang;

masa kecil di kampung bunga raya

dikelilingi pematang sawah dan nyiur kelapa

juga masakan yang beraroma ruah

 

bunda, bisakah kau memberi resep dapur rahasia cencalok keluarga kita?

 

bunda tersenyum tipis. sembari mengiris-iris

jeruk nipis agar tidak meninggalkan aroma amis

pada udang yang sudah terjamahkan pinangan

 

lalu wajan berukuran sedang

turunlah sebutir bawang merah. cabai. yang sudah dihaluskan

agar mengenal kesetiaan pada legit masakan aroma

 

konon dari saban ke saban tepukan satu batang serai

dan selembar daun salam

menyelup di kepalan nasi daun pisang

serta udang gala yang berenang di tumisan

mampu membuat lekuk pangkal lauk berseluncuran ke lorong rahang

mengijabkan deruk daging yang menawarkan cinta bukan main kepalang

 

kata orang, udang cencalok tidak datang dari jawa

melainkan dari melayu siak ranah, tempat dimana jejak sultan

tinggal di jalur pedestrian

yang menjadi pencalang sejarah luhur kita

 

hingga di panggung waktu ambang

pada garis-garis pematang

remah-remah kabut yang memanjang

jalanan yang selalu basah pada tiap kelokan

telah menjadi dengung lebah di gigir telinga

sebab menanggung gelegak belanga

yang melulu menyelam ruku-rindu kenanga

pada dapur rahasia cencalok tangan bunda

 

catatan: 

cencalok; makanan khas Melayu Riau

 

(Tualang)



Tentang Penulis

M. Arif Al Husein, lahir di Aek Pamingke. Bermastautin di Siak Sri Indrapura. Penggiat Literasi, Seni, dan Sastra. Saat ini aktif sebagai Dewan Kehormatan UKM Batra UR. Menggeluti seni teater, musik, lukis, dan ukir. Puluhan naskah teater telah dipentaskan, diantaranya; Prahara Cik Apung (Jakarta: 2013), Bulang Cahaya (Batam: 2013), Malam Botak (Palu: 2014), Raja Minyak (Banjarmasin: 2015), dan puluhan peran lainnya. Beberapa karya telah dibukukan; Kepompong (Trilogi Novel: Nulisbuku Publishing, 2015), Fragmen Hitam (Trilogi Novel: Nulisbuku Publishing, 2015), Rumah Kita (Antologi Puisi dan Cerpen- Pustaka A2, 2016), Hom Pim Pa (Naskah Teater, bentuk Dummy 2017; pernah dipentaskan di Laman Anjungan Seni Idrus Tintin), Kitalah yang Hidup di Sungai Itu (Juara 2 Cipta Puisi Festival Sastra Sungai Jantan, 2019), Sebuah Kisah Tentang Waktu (Juara 1 Cipta Puisi Nasional-Jendela Sastra Indonesia, 2020), Potret Kehidupan (Juara 1 Cipta Puisi Nasional-Tzone Publisher, 2020), Suara yang Lindap dan Malam Senyap (Antologi Puisi Bersama Penyair ASEAN- Salmah Publishing, 2020), Ode Kerinduan (Juara 1 Cipta Puisi Nasional-Inong Agam Publishing, 2020), Mimpi dan Puisi (Juara 3 Cipta Puisi Nasional-Mentari Media, 2020), Langkah Bahtera Langka(Antologi Puisi Bersama Alumni UKM Batra UR-Kajian Budaya Melayu, 2020), Puisi Para Pendaki Bisik Langit Pasak Bumi (Antologi Puisi Pendaki-Pendaki Indonesia-Rumah Sunting, 2021), dan beberapa buku lainnya juga beberapa karya yang terbit di media massa . 0813 1044 0782

 

Baca Juga: Kirim Tulisan

Editor: Saiful Bahri


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Puisi Akrostik Nama Cinta

5 Mei 2024, 20:30 WIB

Puisi Akrostik Nama Mimpi

5 Mei 2024, 20:00 WIB

Terpopuler

Kabar Daerah