Tampung Mandau , Matinya Anak Sungai Jantan
aku terombang benak tentang tampung mandau si anak sungai yang mati di belakang rumah
masih terlihat samar bangkaibangkai perahu konting milik abah, pokokpokok rumbia, limau wuluh dan gemerisik-bisik daundaun nipah di sekitar bantaran
kumpulan aroma dapur mak yang hanya selemparan batu statak. tanpa uap arus yang deras
“sungainya hanya menampung hujan”. suara, mak pelan sembari membawakan mengomel kayu bakar
kehidupan yang sayup menyalai pagi di rumah gubuk beranyam bambu
getir getaran tangkai yang dihinggap serindit dan murai, kepaknya menyeruak di tepian landai tanah bergambut lumut dengan akarakar mangrove meninggikan tajam.
masa kecil memang masih membayangi jalaran akar rindu yang mengumbi bak keris anyaman daun pinang yang dibuat abah, sebelum mati diseret, dicampakkan kompeni ke hulu anak sungai
sementara, mak tabah membilas bajunya di tepian sungai tampung mandau yang berlumuran darah
riwayat hidup bersilang rupa, harga diri tak hanyut ditelan anak sungai jantan
aku mendengar gemericik pelan di sebalik kayukayu ara sekitaran tampung mandau
mengalir di sepanjang saraf otak dari retina berbelok ke ingatan bersama ruap amis darah yang membawa wangi melati dan pandan kesukaan, mak;
“abahmu dahulu pahlawan kebanggakan negeri ini”
sambil mengunyah sirih pinang, luruh mata maksendiri bulan
mengalir kecil di tampung mandau; anak sungai jantan yang mati.
(Tualang Timur, Juni 2022)
Asmaraloka Bumbu Dapur, Mak
sejauh apa pun susur sungai yang kulalui,
kulabuhkan juga derap langkah di tanah Melayu Siak ini
sejauh apa pun melanglang,
akan bermuara jua derap langkah ke Kampung Tualang
di sepanjang ranah Melayu yang terbentang hijau hutan,
kicau burung-burung mengepak terbang
ikan juaro dan udang galah di sepanjang belantaran sungai jantan
tak ada yang lebih agam di kenang selain ingatan ke kampung halaman
akan peluh Abah menyiang ladang
dan bumbu dapur Mak yang mampu menjadi asmaraloka berumur panjang
apalagi bila kuingat ikan salai Pinang Sebatang
yang berkuah lemak santan, oi mak jang, bikin kepayang
ditambah pula kulit kerupuk dan ikan teri yang menjadi lauk,
mampu menjuluk anggara di lekuk lambung deruk
mengijabkan puspawarna di atas gemuruh periuk.
oh, Mak, aroma masakan buatanmu membuat candu
untuk tandang ke halaman rumahmu
mengiang kenangan masa kita dulu; menciptakan riuh pada cobek dan munthu
menakar cabai, bawang dan garam menjadi kaldu
gurih menyatu di pangkal panci dan wajanmu
Mak, bolehkah aku menabung rindu?
(Tualang Timur)
Cencalok
sayup terngiang hembus ingatan
kala aku mengenang;
masa kecil di kampung bunga raya
dikelilingi pematang sawah dan nyiur kelapa
juga masakan yang beraroma ruah
bunda, bisakah kau memberi resep dapur rahasia cencalok keluarga kita?
bunda tersenyum tipis. sembari mengiris-iris
jeruk nipis agar tidak meninggalkan aroma amis
pada udang yang sudah terjamahkan pinangan
lalu wajan berukuran sedang
turunlah sebutir bawang merah. cabai. yang sudah dihaluskan
agar mengenal kesetiaan pada legit masakan aroma
konon dari saban ke saban tepukan satu batang serai
dan selembar daun salam
menyelup di kepalan nasi daun pisang
serta udang gala yang berenang di tumisan
mampu membuat lekuk pangkal lauk berseluncuran ke lorong rahang
mengijabkan deruk daging yang menawarkan cinta bukan main kepalang
kata orang, udang cencalok tidak datang dari jawa
melainkan dari melayu siak ranah, tempat dimana jejak sultan
tinggal di jalur pedestrian
yang menjadi pencalang sejarah luhur kita
hingga di panggung waktu ambang
pada garis-garis pematang
remah-remah kabut yang memanjang
jalanan yang selalu basah pada tiap kelokan
telah menjadi dengung lebah di gigir telinga
sebab menanggung gelegak belanga
yang melulu menyelam ruku-rindu kenanga
pada dapur rahasia cencalok tangan bunda
catatan:
cencalok; makanan khas Melayu Riau
(Tualang)
Tentang Penulis
M. Arif Al Husein, lahir di Aek Pamingke. Bermastautin di Siak Sri Indrapura. Penggiat Literasi, Seni, dan Sastra. Saat ini aktif sebagai Dewan Kehormatan UKM Batra UR. Menggeluti seni teater, musik, lukis, dan ukir. Puluhan naskah teater telah dipentaskan, diantaranya; Prahara Cik Apung (Jakarta: 2013), Bulang Cahaya (Batam: 2013), Malam Botak (Palu: 2014), Raja Minyak (Banjarmasin: 2015), dan puluhan peran lainnya. Beberapa karya telah dibukukan; Kepompong (Trilogi Novel: Nulisbuku Publishing, 2015), Fragmen Hitam (Trilogi Novel: Nulisbuku Publishing, 2015), Rumah Kita (Antologi Puisi dan Cerpen- Pustaka A2, 2016), Hom Pim Pa (Naskah Teater, bentuk Dummy 2017; pernah dipentaskan di Laman Anjungan Seni Idrus Tintin), Kitalah yang Hidup di Sungai Itu (Juara 2 Cipta Puisi Festival Sastra Sungai Jantan, 2019), Sebuah Kisah Tentang Waktu (Juara 1 Cipta Puisi Nasional-Jendela Sastra Indonesia, 2020), Potret Kehidupan (Juara 1 Cipta Puisi Nasional-Tzone Publisher, 2020), Suara yang Lindap dan Malam Senyap (Antologi Puisi Bersama Penyair ASEAN- Salmah Publishing, 2020), Ode Kerinduan (Juara 1 Cipta Puisi Nasional-Inong Agam Publishing, 2020), Mimpi dan Puisi (Juara 3 Cipta Puisi Nasional-Mentari Media, 2020), Langkah Bahtera Langka(Antologi Puisi Bersama Alumni UKM Batra UR-Kajian Budaya Melayu, 2020), Puisi Para Pendaki Bisik Langit Pasak Bumi (Antologi Puisi Pendaki-Pendaki Indonesia-Rumah Sunting, 2021), dan beberapa buku lainnya juga beberapa karya yang terbit di media massa . 0813 1044 0782
Baca Juga: Kirim Tulisan